Meski banyak media santer memberitakan keterlibatannya dalam kasus itu, fakta hukum dan alat bukti yang ada sesungguhnya belum cukup untuk menjadikannya sebagai tersangka. Pertanyaan paling mendasar adalah: benarkah ada jejak Anas di Hambalang ataukah itu hanya “karangan” Nazaruddin belaka? Proyek pembangunan kompleks sekolah olahraga Hambalang yang berlokasi di Bogor, Jawa Barat telah dirancang sejak 2004 pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, jauh sebelum Anas masuk Partai Demokrat.
Pada awalnya proyek tersebut direncanakan menelan biaya Rp 125 miliar, penentuan lokasi proyek dan pembebasan lahan sudah dilakukan sejak 2005, pada masa Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault. Namun, realisasi proyek itu tertunda akibat proses sertifikasi tanah yang terkatung-katung tanpa alasan jelas. Di bawah menteri baru Andi Mallarangeng, Proyek Hambalang kembali dihidupkan dan diperbesar skalanya.
Pada Januari 2010, Kemenpora mengajukan anggaran baru senilai Rp 1,5 triliun (sepuluh kali lipat lebih dari rencana awal), yang disetujui Menteri Keuangan. Kemenpora menetapkan konsorsium PT Adhi Karya sebagai pemenang tender Proyek Hambalang pada akhir 2010. Nazar menuding Anas “mengatur Proyek Hambalang sejak awal sampai akhir”. Benarkah itu? Ada tiga tuduhan yang dilontarkan Nazar.
Ignatius Mulyono, Joyo Winoto, Anas Urbaningrum dan M Nazaruddin
Proses Sertifikasi Tanah
Pertama, Nazar menuduh Anas berperan besar dalam menggolkan proses sertifikasi lahan Hambalang. Nazar menyebut pertemuan empat orang: dia sendiri, Anas (kala itu ketua Fraksi Demokrat di DPR), Joyo Winoto (kepala Badan Pertanahan Nasional/BPN), dan Ignatius Mulyono (politikus Partai Demokrat serta anggota Komisi II DPR yang bermitra dengan BPN).
Menurut Nazar, dalam pertemuan itu Anas membujuk Joyo Winoto agar segera mengeluarkan sertifikat Hambalang. Namun ada beberapa kelemahan dalam pernyataan Nazar itu. Pertama, tidak jelas tempus delicti (waktu kejadian) keterlibatan Anas dalam pengurusan sertifikat. Kedua, pertemuan yang dimaksud hanya dikisahkan oleh Nazar dan tidak dibenarkan oleh tiga lainnya (Anas, Ignatius Mulyono maupun Joyo Winoto).
Dalam dunia hukum berlaku asas unus testis nullus testis, keterangan satu saksi saja belum dapat dijadikan dasar pembuktian. Ketiga, berdasarkan pernyataan Ignatius, pejabat BPN maupun pejabat Kemenpora, BPN tidak pernah mengeluarkan sertifikat Hambalang. BPN hanya mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa hak pakai lahan Hambalang ada pada Kemenpora.
Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Yulianis dan Adyaksa Dault
Tender Hambalang
Kedua, Nazar menuduh Anas menjadi arsitek kemenangan Adhi Karya dalam tender proyek Hambalang. Nazar mengaku menemani Anas bertemu dengan Teuku Bagus Mohammad Noer dari PT Adhi Karya pada Maret 2010 dalam rangka memastikan Adhi Karya menjadi pemenang tender dengan imbalan Rp 100 miliar.
Dan masih menurut Nazar, sekitar Rp 50 miliar suap tersebut dipakai Anas untuk memenangkan pemilihan ketua umum Partai Demokrat. Mindo Rosalina Manullang, direktur Pemasaran Permai Grup, dalam persidangan kasus Wisma Atlet justru mengatakan bahwa Nazar sebenarnya ingin agar Proyek Hambalang dimenangkan oleh PT Duta Graha Indah (DGI), mitra Permai Group milik Nazar.
Permai Group, menurut Rosa, sudah menyetor ke pejabat Kemenpora sebesar Rp 20 miliar untuk memastikan kemenangan DGI. Namun, DGI ternyata kalah tender. Nazar kemudian meminta kembali uang Rp 10 miliar. Pertanyaannya, bagaimana mungkin Anas bisa mengatur tender yang diselenggarakan oleh para pejabat Kemenpora di bawah Andi Mallarangeng? Seperti kita ketahui, pada saat pemilihan ketua umum Partai Demokrat, Andi Mallarangeng juga merupakan kandidat ketua umum Partai Demokrat yang bersaing dengan Anas Urbaningrum dan Marzuki Alie.
Ketiga, Nazar menuding Anas menerima suap sebesar Rp 50 miliar yang dipakai untuk memenangkan Kongres Partai Demokrat. Di samping sulit menjelaskan bagaimana Adhi Karya, sebuah perusahaan publik, bisa mengeluarkan uang Rp 100 miliar jauh sebelum tender dimulai, tuduhan Nazar bertentangan dengan kesaksian Yulianis, kasir Permai Group. Sebagai bendahara umum Partai Demokrat, Nazar adalah pihak yang menerima sumbangan dari para sponsor (termasuk dari Adhi Karya jika ada) sekaligus pihak yang membiayai penyelenggaraan kongres.
Keterangan Yulianis dan Nazar berbeda tentang jumlah dan sumber uang yang dibawa untuk keperluan Kongres Partai Demokrat di Bandung pada Mei 2010. Menurut Nazar, uang yang dipakai dalam Kongres di Bandung lebih dari Rp 100 miliar dan berasal dari “fee” Proyek Hambalang. Sementara menurut Yulianis, Permai Group hanya mempersiapkan dana sebesar Rp 48 miliar (Rp 18 miliar di antaranya berasal dari sumbangan para sponsor). Dari jumlah itu, hanya Rp 17 miliar yang terpakai, sisanya masuk kembali ke brankas Nazar. Dan bukankah dengan demikian Nazar justru memperoleh kelebihan sumbangan 'sedikitnya' Rp 31 miliar ?!
Anas Urbaningrum bersama isteri dan 4 buah hatinya
Esensi Kasus Hambalang
Meski tampak rumit, pola korupsi kasus Hambalang pada dasarnya sederhana. Pertama, ada-tidaknya penggelembungan nilai proyek (mark-up) —termasuk siapa yang mengusulkan nilai proyek dan spesifikasinya. Kedua, ada-tidaknya unsur suap-menyuap dan permufakatan jahat lainnya yang memungkinkan satu peserta tender menang secara tidak sah.
Dalam dua aspek esensial tadi, peluang Anas untuk terlibat sangatlah kecil. Karena Hambalang adalah proyek milik Kemenpora, anggarannya diusulkan oleh Kemenpora yang disetujui baik oleh DPR maupun menteri keuangan. Karena itu, jika benar Anas terlibat, bagaimana caranya dia, yang bukan pejabat di pemerintahan itu, bisa mengatur Kemenpora, DPR, dan Kemenkeu sekaligus, untuk mengegolkan proyek dan mengatur tender yang panitianya dibentuk oleh Kemenpora? Bila kita cermati, banyak tuduhan Nazar yang justru mengaburkan esensi Kasus Hambalang dan sangat tendensius mengarahkan opini pada keterlibatan Anas.
Karena itu, kita sungguh sangat berharap agar KPK bisa membuat jernih persoalan Hambalang tersebut. Bagaimanapun, KPK adalah lembaga hukum paling kredibel untuk menyidik kasus ini. Dan semoga KPK bisa bertindak profesional, independen, jujur dan adil.
Asmar Oemar Saleh,
Advokat
KORAN SINDO, 28 Maret 2013