Undang-Undang Desa saja tak cukup untuk membela desa karena kurangnya daya di desa. Ini salah satu kesimpulan dari refleksi tiga tahun pelaksanaan UU Desa yang diselenggarakan Panitia Bersama Organisasi Masyarakat Sipil dengan 150 delegasi desa dari sejumlah daerah di pelosok Indonesia pada 24-25 Januari lalu.
Refleksi tersebut dimaksudkan untuk membaca kembali UU Desa dalam konteks tantangan yang dihadapi desa saat ini dan di masa depan. Ada banyak catatan reflektif atas UU Desa dan pelaksanaannya. Tiga di antaranya penting untuk digarisbawahi. Pertama, pelaksanaan UU Desa sarat distorsi. Kedua, meskipun sudah lahir undang-undang desa terbaru, tak ada perubahan dalam cara kita memandang dan memperlakukan desa. Ketiga, UU Desa saja tak cukup untuk membela desa.
Sarat distorsi
Dengan disahkannya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, sejak saat itu desa dapat pengakuan akan hak otonominya dalam sistem pemerintahan nasional. Desa bukan lagi sekedar obyek bagi proyek-proyek pembangunan, melainkan diakui sebagai subyek pembangunan yang mandiri. Oleh karena itu, kehadiran UU Desa diharapkan dapat membawa perubahan bagi desa, yang selama ini telah banyak dilucuti hak-haknya. Dengan dilaksanakannya UU Desa, diharapkan desa akan semakin berdaulat, pembangunannya kian partisipatif dan sistem ekonomi-politiknya makin demokratis.
Namun hasil refleksi menunjukkan, pelaksanaan UU Desa masih sarat dengan distorsi. Mandat yang tertuang dalam UU Desa tak sepenuhnya dijalankan.
Ini tampak dari kebijakan dan program pemerintah yang condong memperlemah posisi desa. Pelemahan ini bisa dilihat di antaranya; dari reduksi pemahaman terhadap UU Desa, kuatnya intervensi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menentukan program pembangunan, miskinnya program pemberdayaan masyarakat dan program yang memperkuat karakter kebudayaan dan kehidupan kolektif masyarakat desa, pelemahan dan pereduksian pendampingan terhadap desa, serta diabaikannya dimensi sosial-ekologis masyarakat desa.
Sejak awal kelahirannya, UU Desa hanya dipahami sebatas gelontoran dana yang mengarus deras ke desa-desa, sehingga dalam pelaksanaannya banyak yang terjebak dan terperosok pada urusan birokratisasi dana desa itu. Sementara realisasi pengakuan atas hak asal-usul desa beserta adat budayanya, hilang dari wacana. Hak desa atas dana desa sudah diberikan, tetapi hak desa atas kewenangan yang dimandatkan UU Desa belum sepenuhnya diwujudkan.
Pemerintah pusat mengatur secara ketat penggunaan dana desa dengan pengawasan yang melibatkan banyak lembaga tanpa disertai penguatan literasi masyarakat desa. Sementara pemerintah kabupaten begitu kuat melakukan intervensi atas pencairan dan penggunaan dana desa. Dampaknya, desa-desa terjebak dalam urusan administratif sehingga mengabaikan demokrasi dan partisipasi warganya. Desa-desa juga dikondisikan tunduk pada kehendak kabupaten, melakukan "suap" pada pihak kabupaten demi kelancaran pencairan dana desa, dan rela dijadikan alat penguasa daerah untuk mendapatkan kekuasaan dalam politik pilkada. Padahal, UU Desa memandatkan pemerintah daerah berperan sebagai pendamping, bukan "bos" bagi desa.
Miskinnya program pemberdayaan dan penguatan karakter kebudayaan dan kehidupan kolektif masyarakat desa bisa dilihat dari proporsi penggunaan dana desa, di mana lebih dari 80 persen adalah untuk pembangunan infrastruktur. Sementara untuk pemberdayaan masyarakat hanya 7,8 persen, pemenuhan kebutuhan dasar 5,53 persen, pengembangan potensi ekonomi lokal 2,55 persen, pembinaan kemasyarakatan 1,05 persen. Dengan alokasi seperti ini, tak heran jika peningkatan secara signifikan kucuran dana desa tidak mampu mengurangi angka kemiskinan di perdesaan secara signifikan.
Kurang daya
Betapapun telah lahir UU Desa terbaru, tak ada perubahan dalam cara kita memandang dan memperlakukan desa. Desa tetap dilihat dan diperlakukan sebagai subsistem dari kota dan bukan ruang hidup dengan corak kehidupan perdesaan yang memiliki logika reproduksi dan regenerasinya sendiri. Cara pandang ini membawa konsekuensi serius bagi desa.
Status desa condong menjadi sekadar "ruang hidup sementara", yang sewaktu-waktu bisa dibongkar, digusur, dan bahkan dihapuskan ketika negara atau korporasi membutuhkannya untuk dieksploitasi dan dikonversi menjadi ruang ekstraktif demi peningkatan pendapatan. Indikasinya, desa-desa penuh dengan izin investasi pertambangan, perkebunan sawit, properti, atau izin eksploitatif lainnya. Desa menjadi area perebutan sumber daya alam dan arena konflik agraria.
Area desa bisa dengan amat mudah berpindah menjadi area konsesi korporasi atau lokus proyek strategis pemerintah, sementara warganya tak berdaya ketika dipaksa melepaskan hak mereka atas lahan dan ruang kehidupannya.
Desa-desa di lingkar industri pertambangan dan perkebunan sawit, misalnya, kebanyakan warganya kehilangan lahan dan berubah status dari petani mandiri menjadi buruh industri. Ada pula desa yang keberadaannya dihapuskan karena areanya dikuasai korporasi atau menjadi lokus proyek strategis pemerintah. Bahkan desa-desa yang lahan pertaniannya sudah bersertifikat sekalipun, warganya bisa dengan mudah kehilangan haknya. Juga ada banyak desa yang kehilangan sebagian atau seluruh ruang hidupnya karena pemerintah secara sewenang-wenang menetapkan wilayah desa itu sebagai kawasan hutan. Padahal, warga sudah tinggal di desanya tersebut jauh sebelum republik ini berdiri. Ada lebih dari 30.000 desa yang berada di kawasan hutan namun tak memiliki akses atas sumber daya agraria.
Dalam konteks posisi desa sebagai subsistem kota, UU Desa saja tak cukup untuk membela desa. Memang ada banyak peluang positif dalam UU Desa, tetapi peluang ini kurang daya ketika berhadapan dengan ancaman kekuatan oligarki ekonomi-politik yang destruktif. Selain itu, UU Desa pada dirinya juga mengandung kelemahan. Salah satunya adalah ketentuan yang ada dalam UU Desa tidak cukup memberikan perlindungan bagi warga kebanyakan dari kesewenangan elite desa.
UU Desa memberikan kuasa begitu besar pada kepala desa, tetapi tak menyediakan instrumen memadai bagi warga dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk melakukan kontrol. Akibatnya, pelaksanaan UU Desa di tingkat desa rentan penyelewengan oleh kepala desa dan para perangkat desa pembantunya.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor di atas, refleksi atas UU Desa dan pelaksanaannya sampai pada kesimpulan, untuk memperkuat pembelaan terhadap desa, UU Desa harus dilaksanakan secara terintegrasi dengan UU lain yang memberikan perlindungan dan keadilan bagi desa, di antaranya UU Pokok Agraria, UU Penataan Ruang, UU tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan, UU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Lingkungan Hidup dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.
Akhir kata, sudah lama republik ini melakukan kekerasan pada desa. Karena itu, penting bahwa pelaksanaan UU Desa harus dilandasi sepenuhnya oleh semangat pemulihan hak bagi desa beserta seluruh aspeknya. Dan berikan "tindakan afirmatif" bagi desa dengan sepenuhnya demi mewujudkan kewenangan desa atas ruang kehidupannya. Terutama demi pemulihan ruang hidup bagi desa-desa yang mengalami kerusakan ekologis dan menghentikan distorsi dalam pelaksanaan UU Desa. Hanya dengan cara inilah kita bisa membayar utang kita kepada desa.
Sri Palupi,
Peneliti Institute for Ecosoc Rights
KOMPAS, 14 Februari 2018