Ketika televisi mempertontonkan onggokan-onggokan tanah, beton, dan potongan tubuh manusia yang “dihasilkan” oleh bom Israel di Gaza atas nama “hak membela diri”, aku —agar tak muak dan membenci— memanggil di benakku kenangan masa kecil tentang seorang tua yang kadang mengunjungi rumah kami untuk berdiskusi entah tentang seni ataupun sastra.
Orang itu, dr Seidel, mempunyai rahasia yang, pada suatu hari berawan gelap, dibisikkan serius oleh ibuku: “Jean, lihatlah di pergelangan tangannya, tertera satu nomor, nomor statistik Maut, yang tak pernah lupa ditato kaum Nazi pada orang yang bakal digasnya.” Ya! Dr Seidel adalah salah satu di antara sedikit sekali tawanan kamp Nazi yang berhasil luput dari maut. Al-Maut hampir-hampir merangkulnya hanya karena “ras”-nya sebagai seorang Yahudi.
Thomas Mann dan Goethe, sama-sama menulis tentang Doktor Faust.
Pada satu hari, saya lupa apakah usai membaca Thomas Mann atau Goethe, aku mendekatinya, ingin tahu: "Monsieur Seidel," tanyaku polos, "apakah Anda kini masih membenci orang Jerman?" Dia menatap aku lama, mengerutkan dahi, lalu berkata sedih, "Bagaimana bisa? Penderitaanku telah membawakanku ke medan derita dan kasih sesama, bukan ke ranah kebencian...." Aku tertegun, haru.
Kini dr Seidel bersemayam di bawah batu nisan berbintang David di pinggiran kota Paris. Jauh dari Tanah Suci yang konon dijanjikan Tuhan kepada kaumnya. Tanah Suci yang didambakannya sejatinya ialah negeri damai impian kaum humanis.
Di dalam sikapnya, dr Seidel, secara sadar ataupun tidak, bersikap sebagai pewaris dari tradisi Yahudi lama.
Selama 2.500 tahun, apakah di pengasingan di Babilonia (536 SM), di rantauan Lautan Tengah seusai dibantai tentara Romawi (tahun 76 M), atau di kota-kota Jerman di mana dijarah dan dibunuh tentara Perang Salib (abad ke-12); apakah sebagai patih di Cordoba atau tukang sepatu di Lithuania, tak ayal di mana pun orang Yahudi berada, di situ pun terdapat pula rabi (pendeta) dan yeshiva (sekolah agama) yang mendamba-dambakan suatu Jerusalem yang tak mungkin nyata: Tanah Suci mistis kaum kelana papa.
Yahudi tak bisa lepas dari Rabi dan Yeshiva.
Setelah Revolusi Prancis (1789), segala diskriminasi hukum perihal agama, etnisitas, dan status sosial dihapuskan. Serta-merta keluarlah orang-orang Yahudi dari ghetto-ghetto-nya untuk menjadi "warga negara" setara. Mereka sudah siap secara intelektual: di dalam tafsirnya atas Alkitab, yeshiva klasik telah mengembangkan retorik analitis dan logik yang tajam.
Maka tak mengherankan bila siswa yeshiva brilian, tapi bosan agama, kerap menjadi filsuf. Dari pertemuan mereka dengan pikiran zaman mengalirlah sumbangan-sumbangannya pada upaya humanistis "universal" modern —dengan tokoh-tokoh seperti Marx, Heine, Mandelssohn, Proust, Durkheim, Freud, dan Einstein.
Namun, sejarah mengintai dalam bentuk baru: nasionalisme, yang kadang manusiawi, tetapi kerap juga menjadi monster pemangsa manusia. Pada abad ke-19 muncullah kelompok Yahudi yang tidak lagi menginginkan Jerusalem yang simbolis, melainkan Jerusalem yang harfiah. Bukan lagi Tanah Suci Surgawi, tetapi tanah migrasi bernama Israel.
Deklarasi Balfour (1917) dan keruntuhan kuasa Ottoman atas Timur Tengah (1918) membuka peluang untuk itu. Sejarah kemudian berlalu: Holocaust dari jutaan orang Yahudi oleh kaum Nazi semasa Perang Dunia II (1939-1945), migrasi sisa orang Yahudi ke Palestina/Israel (1945), pendirian negara Israel (1947), perang yang mengganti perang, teror yang tak berkesudahan. Hingga tadi, ketika aku menonton di TV onggokan-onggokan adonan beton dan tubuh manusia.
Hitler dan para tokoh Yahudi yang masyhur; Karl Marx, Sigmund Freud, Einstein, dll.
Alhasil, kebanyakan orang Israel kini menganut ragam nasionalisme yang tak kurang mutlak daripada nasionalisme Jerman awal abad ke-20, yang harus dibayar sedemikian mahal oleh kaumnya. Tak kurang penting, tradisi spiritual-humanis universal yang dipegang selama 2.000 tahun oleh orang Yahudi —yaitu kepercayaan simbolis akan suatu Jerusalem ideal nan manusiawi— telah dikhianatinya dan terancam musnah. Buktinya di Gaza.
Sementara ini, tak jauh dari Jerusalem, terdapat kelompok yang tidak lagi menginginkan suatu khalifah simbolis, melainkan juga suatu khalifah yang "nyata!"
Tetapi mungkin itu terjadi karena nun jauh di sana, banyak warga Amerika meyakini negaranya sebagai wujud nyata dari Tanah Suci yang dijanjikan —Jerusalem yang baru. Astaghfirullah!
Jean Couteau
Kolumnis Surat Kabar KOMPAS
KOMPAS, 31 Agustus 2014