Berita terakhir menyebutkan, Saudi mengajukan pinjaman ke pasar internasional sebanyak USD 87 miliar. Kurang jelas, apakah utang itu diajukan pemerintah atau swasta Saudi. Sebab, Amerika Serikat masih berutang 1.500 miliar kepada Saudi.
Sekonyong-konyong Raja Salman datang ke Asia Tenggara membawa 153 miliar untuk dibagi-bagi. Luar biasa. Di Malaysia, Raja Salman menegaskan, ia berada di belakang Islam. Dari situ harus dibaca muhibah (cinta kasih) Raja Salman. Karenanya, saya salut.
Demi Islam, dalam keadaan bangkrut, Raja Salman masih mengalokasikan USD 25 miliar untuk Indonesia. Padahal, utang ke pasar internasional cuma 87 miliar USD pakai rate.
Tapi saya yakin ada 20% andil mereka soal Indonesia. Sisanya 80% adalah andil dari Aksi Bela Islam. Reason-nya, credential diajukan tiga kali. Tak ada jawaban. Jawaban Raja Salman muncul 5 Januari 2017 dengan nota reciprocal caution. Itu tiga hari setelah Aksi Bela Islam II, 212. Pesan langsung diterima pula oleh Wakil Ketua DPR-RI, Fahri Hamzah yang kemudian menyampaikan ke publik.
Blessing in disguise dari blasphemy Al-Maidah 51. Thank berat Bro Ahok. Agaknya Raja Salman kaget melihat jutaan Muslim mendemo Ahok di 411 dan 212. Yaitu, Raja Salman adalah penghafal Al-Quran. Beliau hafal Quran sejak berusia 10 tahun. Padahal di seluruh dunia, di negara modern, hanya di Indonesia jutaan orang berdemo semata blasphemy Al-Quran. Karena latar belakangnya seperti itu, menurut saya, Al-Quran yang menggerakkan Raja Salman ke Indonesia. Bagi penghafal Al-Quran, reason ini diterima, termasuk saya (karena pernah menjuarai musabaqah tilawatil Quran waktu remaja).
Kesimpulannya, reciprocal itu lebih untuk apresiasi Aksi Bela Islam. Bukan an sich menjawab kunjungan Presiden Jokowi yang seharusnya legal formal.
Raja Salman bin Abdul Aziz al-Saud, Sang Penjaga 2 Kota Suci.
Mengapa demikian? Sebab lain, agenda kerja sama yang di-publish kini, absurditas, tidak make sense. Misalnya pemberantasan terorisme.
Dalam dua tahun terakhir, dua kali Saudi meminta Indonesia ikut dalam koalisi melawan terorisme yang digagas dan dipimpin Raja Salman. Keduanya ditolak mentah-mentah. Bagi Indonesia, alasan Indonesia tidak ikut karena tak ingin terlibat konflik internasional, termasuk apa yang disebut terorisme, adalah reasonable.
Sebaliknya respon penolakan itu bagi Saudi adalah satu catatan tersendiri. Itu satu.
Kedua, berlarutnya kasus blasphemy Al-Maidah 51, telah berubah menjadi paradoks politik, di mana Islam berubah menjadi kekuatan nasionalis kanan berhadapan dengan nasionalis kiri, lalu go internasional. Saudi mau tak mau harus ikut ketika frasa Arab diserang oleh pidato kontroversial Megawati selaku the ruling party (partai berkuasa).
Persaingan global. Persaingan para globalis. Its all about business, not religion, kata analis. Itu semata Das Kapital (kaum modal), kata Karl Marx. Itu yang ketiga.
Raja Salman sedang memasarkan IPO (Initial Public Offering - pelepasan saham perdana) Aramco di Indonesia, Malaysia, Jepang, dan RRC.
Aramco adalah partner Pertamina. Ke situ alamat investasi USD 25 miliar tadi. Sisanya untuk proyek Saunesia, akronim Saudi - Indonesia, ada 15 proyek. Nah yang 15 proyek ini bisa disebut dana solidaritas Islam.
Lainnya bisnis. Infonya, Saudi menunjuk Moelis & Co untuk penasihat investasi IPO Aramco. Penunjukan Moelis mengisahkan Raja Salman sedang berbisnis di mana Moelis adalah proxy RRC, walau RRC bukan sekutu Barat. Moelis adalah perusahaan milik konglomerat Yahudi Kenneth Moelis yang bermarkas di Beijing untuk Asia.
Dari Indonesia, Raja Salman ke Jepang, lalu ke Beijing, bertemu Presiden RRC Xi Jinping, untuk memasarkan IPO Aramco yang diproyeksi mendulang duit 2 triliun USD. Dahsyat.
Aliansi itu yang disebut Arab America Corporation (Aramco), ialah perusahaan minyak terbesar dunia kini. Aramco bermitra dengan BUMN Saudi, yaitu Saudi Aramco.
Berbagai sumber menyebutkan IPO Aramco adalah restrukturisasi dan diversifikasi untuk menghindari kebangkrutan akibat anjloknya harga minyak bumi. Aramco mau banting setir ke mana dengan 2 triliun USD tadi?
Analis mengemukakan, pertama mendukung mitra strategis peningkatan kinerja Aramco. Yaitu kerjasama dengan pembeli terbesar (main buyer): Jepang, Cina, Indonesia, dan AS. Ikatan jangka panjang dengan main buyer menjaga stabilitas nilai saham Aramco di pasar modal.
ARAMCO (Arabian American Oil Company)
Kedua, mengarahkan jaringan investasi finansial untuk menjaga likuiditas Aramco dalam melakukan leverage, sehingga pertumbuhan Aramco terjamin dalam rangka mencipta deviden untuk menambal defisit APBN Saudi.
Aliansi dengan Jepang dan AS tidak bermasalah, karena satu proxy Barat. Tapi dengan Cina dan Indonesia niscaya bermasalah. Sebabnya, Cina sudah terikat aliansi dengan Iran dan Rusia (proxy Timur), sehingga menurut para analis, sulit dicapai aliansi permanen. Demikian pula dengan Indonesia, karena Indonesia sudah bekerjasama dengan Iran dan Rusia dalam proyek refinery dan trading.
Tapi, Raja Salman tampak yakin bisa menarik Indonesia dengan menganulir Iran dan Rusia dengan menggunakan kedekatan Saudi dengan elite politik Islam Indonesia. Langkah awal Saudi mempercepat penyelesaian pembangunan kilang Cilacap dengan Pertamina serta membeli saham Petronas yang sedang kesulitan. Itu pintu masuk Aramco ke pasar retail Indonesia, bersama Petronas. Apa yang diperoleh Presiden Jokowi dari bisnis ini?
Menurut analis, berharap efek divestasi Aramco yang dilakukan Raja Salman, pemerintah bisa melakukan bargaining politik untuk menjinakkan Islam radikal Indonesia. Di samping itu, tetap bisa menangguk kemitraan investasi dari Iran, Rusia, Arab, dan Cina.
Perjalanan Raja Salman setelah dari Indonesia adalah ke RRC dan Jepang.
Menurut saya sukar, khususnya penjinakan radikalisme Islam, semata karena Raja Salman adalah penganut Wahabi.
Masalah radikalisme itu bukan soal Wahabi, melainkan karena tidak ditegakkannya keadilan hukum pada kasus Ahok oleh rezim. Sebab, demo Bela Islam itu lebih banyak Nadlatul Ulamanya daripada Wahabinya.
Detonator lainnya adalah berubahnya kiblat politik luar negeri Indonesia dari Barat ke Timur (RRC, Iran, Rusia), meminjam istilah Syahganda Nainggolan, menghasilkan devided civilization (peradaban yang terbelah) antara nasionalis kiri versus nasionalis kanan. Hingga kini, belum ada obatnya karena diprovokasi terus menerus oleh pemerintah.
Kehadiran Raja Salman bisa-bisa malah mensuplai semangat keislaman yang lebih rigid walau Raja Salman membawa proyek Islam moderat dalam pesannya.
Djoko Edhi Abdurrahman,
Mantan Anggota Komisi Hukum DPR-RI
REPUBLIKA, 4 Maret 2017