Trilogi Pulau Buru menunjukkan bahwa tradisi menulis dan kelisanan itu berkelindan. Menulis dan berbicara memiliki metode yang berbeda, tetapi keduanya sama-sama menjadi media untuk mengartikulasikan gagasan. Literasi selalu berkembang dalam konteks kelisanan. Sebuah karya tulis dibuat dari gagasan yang didialogkan dengan orang lain, lalu tumbuh dan disempurnakan dengan pertukaran pemikiran. Setelah selesai ditulis, sebuah karya terus akan menjadi bahan dialog.
Dalam proses memahami sebuah karya, seseorang perlu berdialog dan berbicara. Sayangnya, proses literasi yang diakrabi kelisanan, dan tradisi kelisanan yang bersumber kepada bacaan ini tidak disemai dan dipupuk di sekolah-sekolah. Literasi di sekolah menjadi kering dan tidak diminati karena tidak ditumbuhkan dalam kehangatan tradisi kelisanan. Tidak mengherankan apabila anak-anak kita tidak memiliki keterikatan emosi dengan literasi.
Kebanyakan anak-anak tak begitu beruntung. Ketika memasuki sekolah, mereka harus melafalkan bacaan tanpa makna seperti “Ini ibu Budi, ini bapak Budi“ yang harus dieja sempurna. Mereka dinilai dari seberapa baik dan lancar mereka mengeja. Membaca terkonversi menjadi angka-angka nilai yang menentukan prestasi akademik mereka.
Ketika mereka dapat membaca secara mandiri, mereka harus membaca soal-soal ujian dan menjawabnya dengan benar, juga buku-buku teks pelajaran yang membosankan. Buku-buku cerita yang menarik jarang mereka temukan. Seandainya buku-buku itu tersedia, mereka tak sempat membacanya karena buku-buku itu dianggap tak relevan dengan persiapan untuk ujian.
Pelajaran membaca di sekolah mungkin dapat menjadikan anak mampu mengeja. Namun, ia gagal untuk menumbuhkan minat baca. Rendahnya minat baca dan kemampuan untuk memahami bacaan (seperti dilansir oleh tes PISA 2013) tampaknya terkait dengan tiga hal berikut ini.
Membacakan buku kepada anak sering dianggap sebagai kegiatan praliterasi belaka. Artinya, buku dibacakan kepada anak semata untuk mengenalkan mereka kepada konsep cetak, format bacaan, alfabet, dan bahasa tulis. Ketika anak sudah bisa mengeja tulisan, mereka digegas untuk dapat membaca secara mandiri.
Padahal, membacakan buku juga berfungsi untuk menghidupkan bacaan, menggugah minat anak terhadap bacaan, dan mempererat ikatan emosional anak dengan orang dewasa. Hal ini penting di era modern ketika relasi anak dengan orang dewasa (guru, orangtua, dan anggota keluarga lainnya) diuji dengan kehadiran perangkat teknologi (gadget) yang sungguh menyita waktu dan perhatian.
Di kelas menulis yang saya ampu di Institut Teknologi Bandung, saya masih membacakan buku untuk mahasiswa saya. Di angket yang mereka isi di akhir semester, mahasiswa tingkat sarjana biasanya menyebutkan saat-saat dibacakan buku sebagai waktu favorit mereka. Buku-buku anak bergambar yang saya bacakan kepada mereka itu menjadi media bagi mereka untuk belajar lebih dalam tentang aspek-aspek penulisan yang kami diskusikan. Mereka juga belajar bahwa sumber belajar tidak melulu berupa buku teks kuliah saja. Untuk mahasiswa pascasarjana, saya membacakan nukilan novel, buku, atau artikel jurnal yang menarik. Nukilan-nukilan ini kemudian menjadi amunisi diskusi kami.
Ketika dibacakan, sebuah teks tidak hanya menjadi menarik, tetapi ia juga menjadi hidup dan relevan bagi kehidupan siswa. Teks yang didiskusikan mendapatkan pemaknaan secara lebih luas dan mendalam karena ia diperkaya oleh pengalaman dan penghayatan pembacanya. Karena itu, membacakan buku tidak semata dilakukan untuk mengajari membaca atau menyampaikan kisah kepada mereka yang belum bisa membaca. Melalui membacakan buku, seorang pengajar memberi contoh proses ‘membaca’ teks secara reflektif, analitis, dan kritis.
Saat ini, anak-anak digegas untuk dapat mengeja sejak dini agar mereka dapat membaca dengan mandiri secepat mungkin. Hal ini mereduksi pengertian membaca hanya pada kegiatan mengeja dan membaca dengan fasih, belum pada memahami, menghayati, apalagi menganalisis, mengkritisi, dan merespons bacaan secara verbal dan tertulis. Padahal siswa perlu mendapat bimbingan tersebut untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan mereka. Karena itu, selain membaca mandiri, mereka perlu mendapatkan bimbingan dalam membaca di jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Banyak mahasiswa pascasarjana mengeluhkan kemampuan mereka untuk membaca. Mereka membaca dengan kecepatan yang sangat rendah dan tidak efektif karena mereka tidak mampu membuat prioritas dalam memilah informasi ketika membaca. Mereka tidak membaca dengan aktif dan merasa kesulitan ketika harus menganalisis dan menyintesis bacaan.
Dalam kegiatan membaca terbimbing (guided-reading), guru bekerja dengan siswa dalam kelompok kecil yang terdiri dari tiga hingga empat anak yang setara kemampuan membacanya. Guru lalu membantu anak untuk mengidentifikasi gagasan utama, pendukung, hubungan sebab-akibat atau pola argumen yang terdapat dalam bacaan, kemudian membimbing anak untuk melakukan asumsi, inferensi, dan menarik kesimpulan. Guru juga membantu anak untuk memaknai bacaan tersebut dalam konteks pengalaman mereka. Guru membantu menggugah minat anak terhadap teks yang dibacanya.
Memang, membaca bukanlah kegiatan yang pasif. Selama membaca, otak anak aktif mengolah informasi dan membangun konsepsi terkait dengan topik yang dibacanya. Bimbingan membaca merupakan upaya untuk lebih mengaktifkan proses mencerna ini. Anak perlu dibimbing untuk membaca secara aktif, yakni menyerap informasi dan mengolahnya menjadi wacana yang bermanfaat bagi dirinya.
Meningkatkan pemahaman terhadap bacaan sering dianggap sebagai tugas guru bahasa. Ini ironis karena teks padat informasi yang mendiskusikan topik abstrak yang kompleks sering ditemukan dalam buku teks pelajaran IPA, IPS, PPKN, atau agama. Dalam mencerna teks yang padat ini, anak dibiarkan untuk melakukannya sendiri tanpa dibimbing dan diperkenalkan kepada strategi membaca untuk memahaminya.
Alhasil agar dapat menjawab soal ujian, anak mengambil jalan pintas. Mereka menghafal informasi dalam bacaan itu meskipun tak paham maknanya. Informasi yang dihafal pun akan cepat terlupakan. Namun, toh yang membuat anak ‘berprestasi’ ialah nilai ujian, bukan berkembangnya wawasan dan pemahaman.
Di era kurikulum baru yang menekankan pada metode pembelajaran berpusat kepada anak dan penilaian berbasis portofolio siswa, tugas karya tulis menjadi sebuah hal yang niscaya di jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Karena tuntutan kurikulum, guru harus membiasakan diri untuk memberi tugas menulis dan memeriksanya. Ironisnya, tugas menulis ini diberikan ketika anak belum terbiasa dengan kegiatan membaca aktif. Dengan bekal pengetahuan mengolah referensi yang minim dan jembatan yang belum terhubung antara kegiatan membaca dan menulis, maka menuangkan ide ke dalam tulisan menjadi satu hal yang mereka rasakan sangat sulit. Akibatnya, keterpaparan dengan informasi yang seharusnya menjadi referensi, mereka justru mencaploknya mentah-mentah tanpa diolah. Oleh karena itu kegiatan riset untuk memperkaya gagasan menjadi rawan plagiasi.
Ketidakmampuan ini menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas artikel jurnal yang mereka hasilkan. Hal ini menyedihkan, mengingat penulisan artiikel jurnal menjadi salah satu syarat kelulusan.
Dalam kondisi seperti ini, siapakah yang bertanggung jawab untuk mengajarkan strategi membaca, membongkar teks padat informasi sehingga mudah dipahami, dan mempelajari struktur tulisan sehingga ide pokok dapat tergali? Tentunya bukan hanya guru bahasa, pengajar bidang studi lain pun perlu melakukannya.
Kurikulum dapat berganti, tapi kita tetap membutuhkan paradigma baru untuk literasi. Pemerintah dapat mewajibkan warga sekolah untuk membaca dan meningkatkan ketersediaan buku di sekolah melalui suntikan dana, tetapi anak-anak lebih membutuhkan agar buku menjadi hidup, lebih bermakna, dan relevan dengan kehidupan mereka.
Anak-anak tak hanya memerlukan buku, tetapi juga cara membaca yang baik dan benar, sehingga membantu meningkatkan potensi kemanusiaaan mereka agar kelak ketika mereka terpapar dengan teks multimedia, mereka tahu bagaimana seharusnya memilah dan memilih, serta memanfaatkannya.
Paradigma literasi yang memaanfaatkan kekayaan tradisi lisan ––bertutur dan berdiskusi–– adalah salah satu bekal yang dibutuhkan anak-anak untuk menghadapi era teknologi digital saat ini.
Sofie Dewayani,
Penulis; Penggiat Literasi; Ketua Yayasan Litara
MEDIA INDONESIA, 27 Juli 2015 dan 3 Agustus 2015