Leonardo da Vinci dan lukisan karyanya yang terkenal, Mona Lisa.
Pernyataan itu terasa relevan diajukan lagi saat ini setelah terjadi tragedi yang menimpa mingguan satire Charlie Hebdo, terbitan Paris, Perancis. Hari Rabu lalu, kantor mingguan itu diserang orang bersenjata, yang secara dingin menembak mati 12 orang, empat orang di antaranya adalah karikaturis.
Mungkin, penemunya adalah Leonardo da Vinci. Seniman, penulis, ahli matematika, dan penemu yang hidup di zaman Renaisans ini lahir pada 15 April 1452, di Vinci, Italia. Karya-karyanya sangat kondang. Dua di antaranya adalah “Mona Lisa” dan “The Last Supper”.
Benarkah Leonardo da Vinci? Yang pasti, kata karikatur (bahasa Indonesia) asal mulanya berasal dari bahasa Italia (caricatura, kata benda, dan kata kerjanya adalah caricare yang berarti memuat, memberati, melebih-lebihkan). Kedua kata itu berakar dari bahasa Latin, carricare. Itu menurut kamus Merriam-Webster dan baru digunakan dalam bahasa Inggris mulai tahun 1500-an.
Penyanyi kondang, Mick Jagger dan karikatur wajahnya.
Apabila seseorang digambar secara karikatural, sang karikaturis akan mengeksploitasi ciri lahiriah sang tokoh sedemikian rupa untuk menghasilkan efek komik atau fantastis, aneh sekali. Misalnya, seorang Mick Jagger yang dikenal sebagai penyanyi berbibir ndower, dibuat lebih ndower lagi; atau tokoh politik yang suka bohong, digambar dengan hidung yang panjang seperti pinokio.
Dalam bukunya, How to Draw Caricatures, Lenn Redman menulis bahwa esensi dari karikatur adalah pernyataan atau penggambaran yang dilebih-lebihkan, tetapi distorsi, pemutarbalikan. Ia menyarankan para karikaturis melebih-lebihkan demi kebenaran dan bukannya menyangkal kebenaran.
“Pendek kata, penggambaran wajah seseorang yang terkenal dengan cara melebih-lebihkan ciri lahiriahnya bertujuan untuk mengkritik, sekaligus mencerminkan perbuatannya. Bisa saja, misalnya, wajahnya dibuat seperti wajah binatang,” kata karikaturis kondang GM Sudarta.
Sekalipun demikian, orang akan dengan mudah mengenali siapa tokoh yang digambar secara karikatural itu. Di Perancis, pada awal tahun 1880-an, Charles Philipon yang sering disebut sebagai “bapak karikatur politik Perancis” menggambarkan kepala Raja Perancis Louis-Philippe seperti buah pir. Gambaran Louis-Philippe seperti itu segera diterima publik sebagai simbol Louis-Philippe dan rezimnya. Namun, sejak saat itu, diterbitkanlah undang-undang yang membatasi kebebasan pers dan akibatnya karikatur politik dilarang.
Charlie Hebdo, majalah yang paling "rajin" membuat karikatur Nabi Muhammad.
Karikatur, karena itu, dikatakan sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, kebebasan mengemukakan pendapat, yang adalah batu sendi dari demokrasi. Akan tetapi, menurut Howard LaFranchi, (The Christian Science Monitor, 9/1/2015), karikatur di Charlie Hebdo, bĂȘte et mechant (bodoh dan ganas). Itu sangat berbeda dengan konsep jurnalisme, yakni “tidak melukai, mempermalukan, menghina, dan menghabisi pihak lain,” meskipun tetap mengkritik secara tajam.
Tragedi Charlie Hebdo memang tidak hanya menyisakan satu pertanyaan dengan kesedihan, tetapi bahkan bertumpuk-tumpuk pertanyaan dengan penuh keprihatinan menyangkut kebebasan berekspresi, kebebasan mengemukakan pendapat, demokrasi, terorisme, kesadisan, peradaban, dan tentang nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, tragedi di Paris itu menegaskan bahwa (ternyata) kekejaman, yakni kekejaman terhadap kemanusiaan, saat ini masih demikian banyak, terjadi di mana-mana, dan bisa menimpa siapa saja, karena alasan apa pun.
Para karikaturis, takutkah kalian setelah tragedi Charlie Hebdo? “Saya tidak takut,” jawab seorang karikaturis. Oh, ya? “Ya. Inilah hidup saya. Yang penting saya tidak berbuat jahat. Saya membela kebenaran,” katanya lagi.
Tentu, tidak perlu ditanya lagi, “Apa itu kebenaran?”
Trias Kuncahyono,
Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
KOMPAS, 11 Januari 2015