Orang sudah berada di antara bintang-bintang, cita-citanya tak tinggi lagi. Tapi kini, umat Islam berada justru di awal kebangkitan dari suatu kejatuhan yang panjang dalam sejarahnya. Keadaan ini menentukan psikologi kita untuk selalu berharap terlalu banyak dari setiap gejala. Psikologisme semacam ini, juga yang menghinggapi saya kapan saja berhadapan dengan kegiatan kelompok Muslimin. Kita adalah fuqoro, yang memimpikan Allah al-ghoniy, al-mughniy, bisa dibuktikan betul oleh kreativitas pemikiran dan gerak kaum Muslimin. Barangkali, secara pribadi saya bukan Muslimin yang cukup baik, maka idaman saya akan hal tersebut justru amat tinggi dan mewah serta meningkat terus-menerus.
Banyak kegembiraan, namun juga kecemasan dan kengerian, bertemu dengan pelarian-pelarian bekas Muslimin Iran, atau para pekerja keluarga Turki dan Maroko di Eropa Barat namun juga bergaul dengan kelompok Muslimin dari Indonesia menyodorkan kegelisahan tersendiri.
Itu suatu kisah tersendiri. Yang penting, dalam waktu sebulan di kota itu saya berdiskusi, pengajian dan ‘rapat’ sebanyak empat kali dengan kelompok mahasiswa Muslimin. Disertai banyak ketegangan, lirik-lirikan, pelotot-pelototan di tengah konstelasi Indonesia kecil yang memang ruwet itu –toh saya mencatat suatu perkembangan yang menggembirakan pada kelompok Muslimin tersebut.
Perjuangan mereka –sesungguhnya– bagaimana syari’at Islam bisa survive dalam kehidupan mereka di tengah kota metropolit itu. Mereka mengadakan pengajian rutin, belajar baca Quran, kemudian menata etik-akhlaq keislaman diantara mereka. Sedemikian rupa sehingga belum bisa diharapkan integritas yang lebih luas dengan lingkungannya yang multi nilai, atau bagaimana mereka mengembangkan pemikiran Islam, mereka menanggapi tata nilai lingkungan yang amat menantang itu. Maka bisa dimaklumi kalau keagamaan mereka cenderung formalistik. Waktu tak banyak, sibuk kuliah dan memikirkan hal-hal yang teknologis sifatnya.
Maka sesungguhnya, saya telah salah duga. Islam belum tampil dalam percaturan nilai: kaum Muslimin kita itu sangat defensif dan baru berjuang untuk survive.
Saya datang, dan menjumpai sesuatu yang amat mengharukan hati dan merangsang rasa syukur kepada Allah. Di malam Minggu, anak-anak muda, gondrong, berkumpul di sebuah rumah kecil, bersama-sama meniti secara sistematis nilai-nilai Islam. Mereka menguliti kembali dasar-dasar nilai Islam serta memotretnya pada manusia dan masyarakat, dalam suatu skema dan kronologi yang rapih. Di tengah galau zaman, di tengah tekanan-tekanan ekonomis, politis dan ideologis di negeri ini, mereka kembali ke al-Quran dan as-Sunnah. Mereka dengan tekun dan sabar membangun diri dan mengembangkan kreativitas pikiran keislaman, karena menyadari betapa problem-problem sejarah masa kini membutuhkan jawaban kongkrit. Suatu kerja yang panjang, amat panjang, namun ketekunan semacam itu yang memang sekarang kita butuhkan –ketka lembaga persekolahan tidak mengajarkannya, ketika struktur kekuasaan negara membimbing ke yang sebaliknya, dan ketika udara lingkungan kemasyarakatan abad ini makin berbau Abu Jahal.
Pertumbuhan semacam itu, anak-anak muda yang mandiri mempelajari Islam, ternyata cukup gencar di Indonesia. Mereka tak tinggal frustasi oleh krisis kepemimpinan di kalangan umat Islam. Mereka mendidik diri, mungkin tidak untuk menjadi pemimpin, tapi setidaknya mengisi aspirasi-aspirasi kepemimpinan Kaum Muslimin. Bersamaan dengan itu, perkembangan pemikiran Islam menaik dengan pasti di Indonesia, meskipun memang masih semrawut dan belum ‘terkoordinasi’ –tanpa diketahui oleh mass media, karena mass media kita terlalu sibuk dengan isu semu tentang ‘semangat negara Islam’, ‘Islam sempalan’, atau kebodohan untuk mentransfer revolusi Khomeini secara verbal.
Dari kotak formalistik mereka mulai melihat keluar dan menyadari bahwa dunia begitu luas, dimensi gejala begitu multi, tantangan terhadap Islam jauh lebih kompleks dibanding menyembelih ayam tanpa Bismillah.
Mereka mulai melihat jarak antara ‘negara’ dan ‘bangsa’. Mulai menginsyafi bahwa Quran, Hadits bukan hanya mengurus doa, berwudlu dan berapa derajat ke tenggara arah kiblat. Namun, nilai Islam sangat berkaitan juga dengan ke mana larinya kilang minyak, mengapa hutan seluas itu terbakar, atau kenapa harga semangkok soto di Kecamatan Rejosari hanya 75 perak, tapi di Surabaya bisa sampai 250 perak.
Terakhir, saya terlibat dengan mereka dalam diskusi tentang pengemis. Menguliti problem itu secara struktural, dan merencanakan untuk bikin organisasi kecil buat ikut menolong orang-orang malang itu.
Emha Ainun Nadjib
Den Haag, 16 Desember 1984