Wacana pemindahan ibu kota sejatinya telah menjadi isu yang sudah cukup lama, bahkan sejak era pemerintahan Presiden Soekarno (1957). Saat itu, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dipilih dengan alasan lokasinya tepat di tengah-tengah Indonesia. Presiden Soeharto (1997) juga menyiapkan lahan sekitar 30 hektar di Jonggol, Jawa Barat, untuk pemindahan ibu kota. Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2009) juga telah membentuk tim pemindahan ibu kota meski belum menentukan lokasinya.
Tidak ingin terus menjadi wacana, kini Presiden Joko Widodo langsung mengeksekusi dengan menetapkan ibu kota akan dipindahkan ke Kalimantan pada 2024. Pusat pemerintahan baru akan pindah ke Kalimantan Timur, sedangkan DKI Jakarta akan menjadi pusat ekonomi dan bisnis. Bappenas menaksir biaya pemindahan ibu kota mencapai Rp 485 triliun, dengan Rp 93 triliun di antaranya dari APBN. Sisanya diharapkan bersumber dari hasil pemanfaatan aset pemerintah dan kerja sama dengan swasta.
Jika melihat permasalahan yang mendera Jakarta, wacana pemindahan ibu kota bisa jadi cukup rasional. Posisi Jakarta memang terlalu sentris dan menjadi barometer semua kegiatan, yakni sebagai pusat pemerintahan, politik, bisnis, dan budaya. Daya tampung Jakarta semakin tidak memadai, menimbulkan berbagai permasalahan yang pelik dan kompleks, mulai dari kemacetan, banjir, hingga potensi bencana lingkungan. Berdasarkan hitungan Bappenas, kerugian akibat kemacetan di Jakarta mencapai Rp 100 triliun dan 50 persen wilayah Jakarta termasuk kategori rawan banjir. Banjir tidak hanya berasal dari hulu, tetapi juga dari penurunan tanah di pantai utara dan kenaikan permukaan air laut.
Selain penurunan daya dukung, alasan lain yang selalu mengemuka adalah keadilan ekonomi. Pembangunan ekonomi dinilai terlalu Jawa-sentris sehingga menimbulkan gap lebar antara Indonesia bagian barat dan timur. Sampai dengan triwulan II-2019, distribusi pertumbuhan ekonomi masih didominasi Jawa, yakni 59,11 persen. Sementara Sumatera 21,31 persen, Kalimantan 8,01 persen, Sulawesi 6,34 persen, Maluku dan Papua 2,17 persen, serta Bali dan Nusa Tenggara 3,06 persen.
Salah satu pemandangan di kota Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Pemindahan aktivitas pusat pemerintahan ke Kalimantan secara langsung akan meningkatkan aktivitas di sekitar lokasi ibu kota baru. Namun, belum tentu secara otomatis berdampak luas mengakselerasi kegiatan ekonomi di seluruh pulau Kalimantan. Apalagi, jika diasumsikan otomatis menyebar ke wilayah sekitar, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan kawasan timur lainnya. Sebab, instrumen utama untuk menggerakkan ekonomi lebih ditentukan infrastruktur ekonomi, baik berupa kebijakan maupun infrastruktur dasar dan konektivitas. Apalagi di era otonomi daerah, ujung tombaknya adalah kebijakan daerah yang ramah investasi, terutama kebijakan yang tidak menghambat dan memberi kepastian realisasi investasi.
Di samping itu, sumber utama ketimpangan pembangunan ekonomi adalah kesenjangan pembangunan sumber daya manusia (SDM). Tanpa kesiapan peningkatan SDM lokal yang terampil dan berkualitas, niscaya potensi kesenjangan ekonomi justru akan semakin melebar. Sebab, nilai tambah atas peningkatan produktivitas justru akan lebih banyak dinikmati pendatang.
Sebenarnya, sudah tepat visi pemerintahan Presiden Joko Widodo jilid II adalah menciptakan SDM unggul. Mestinya pemerintah tidak boleh gagal fokus, artinya prioritas yang mendesak untuk memangkas kesenjangan adalah pemerataan investasi SDM dan pembangunan infrastruktur di wilayah Indonesia bagian timur. Hampir semua negara maju di Asia, seperti Jepang, China, dan Korea Selatan, dimulai dari membangun SDM. Untuk mengejar ketertinggalan, tak hanya perlu komitmen, tetapi juga program konkret yang fokus.
Masjid Agung Penajam Paser Utara.
Sementara wacana atau kebutuhan pemindahan ibu kota masih bisa diagendakan menjadi isu penting, tetapi tidak mendesak. Setidaknya, tidak harus dipaksakan selesai pada 2024. Di tengah tekanan dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan perang dagang, dibutuhkan mitigasi risiko.
Diperlukan juga konsentrasi kerja pemerintah agar perekonomian domestik mampu keluar dari tekanan pertumbuhan di level 5 persen. Apalagi, dampak tekanan defisit neraca perdagangan telah mengakibatkan deindustrialisasi. Jika respons pemerintah lambat, potensi ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal akan tidak terhindarkan.
Oleh karena itu, rencana pemindahan ibu kota tidak perlu menjadi polemik yang menguras energi bangsa. Apalagi, jika keputusan tersebut harus dibayar dengan ongkos politik yang mahal. Rencana pemindahan ibu kota perlu dilakukan secara gradual dan sistematis.
Tahap pertama dimulai dari keputusan bersama antara pemerintah dan DPR tentang urgensi pemindahan ibu kota. Jika urgensinya tinggi, harus dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Ibu kota Negara. Selanjutnya, membahas RUU Rencana Pemindahan Ibu Kota yang disertai naskah akademik dan kajian yang komprehensif dan matang mengenai urgensi pemindahan ibu kota. Jika telah ditetapkan sebagai UU, maka menjadi keputusan negara yang bersifat mengikat, kecuali di kemudian hari terjadi amendemen terhadap UU tersebut.
Dokumen resmi tersebut tidak hanya menjadi panduan kerja pemerintah, tetapi juga akan menjadi acuan pelibatan pihak swasta. Asumsi sumber pembiayaan di luar APBN atau dukungan pihak swasta hanya akan terjadi jika ada kepastian hukum tersebut.
Jadi, rencana pemindahan ibu kota tidak perlu dilakukan secara tergesa-gesa, apalagi harus selesai pada 2024. Pasalnya, jika pemindahan ibu kota dilakukan serampangan dan tidak memiliki kepastian hukum, justru akan menambah ketidakpastian iklim investasi di Indonesia.
Enny Sri Hartati,
Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance
KOMPAS, 27 Agustus 2019