Zaman semakin edan. Kekuasaan negara adalah medan petualangan, yaitu suatu medan kaum soldier of fortune, tentara bayaran. Kalau mau cepat kaya raya selama lima tahun, berusaha keraslah memperoleh jabatan kekuasaan negara, tingkat mana pun. Bagaimana caranya Pak? Ah, kura-kura dalam perahu, ya bersahabatlah dengan parpol. Hanya mereka yang dapat mengantar kamu ke gerbang kekuasaan.
Siapa yang dapat kamu pilih sebagai yang berkuasa ditentukan parpol, mungkin mengikuti tradisi negara-negara maju yang telah ratusan tahun berdemokrasi. Namun, jumlah partai mereka tak banyak dan rakyat dengan cara yang sederhana, memahami idealisme politik mereka.
Di Indonesia terlalu banyak partai. Pada Pemilu 1955 terdapat 100 lebih gambar partai. Rakyat tak tahu-menahu idealisme setiap partai. Dengan demikian, kepemimpinan demokrasi kita bersemboyan: dari partai, oleh partai, dan mudah-mudahan untuk rakyat, bukan untuk partai.
Kegemaran orang mendirikan partai baru belum lenyap sampai kini. Membangun parpol tentu butuh dana besar, mirip membangun perusahaan nasional. Masalahnya apa orang bersedia menggelontorkan uang demi idealisme kekuasaan? Di zaman pergerakan nasional (zaman kolonial), mungkin hanya butuh idealisme tanpa memikirkan uang.
Uang membangun politik, politik butuh uang. Dalam lingkaran setan kekuasaan semacam itu tidak mengherankan apabila kekuasaan berarti uang. Idealisme politik tak lagi penting. Orang tak lagi mau berkorban diri demi politik, seperti dilakukan Bapak-Bapak Bangsa sampai era 1950-an. Banyak dari mereka hidup miskin di hari tuanya.
Mau cepat kaya, bosan hidup miskin terus-menerus? Duduklah di kursi kekuasaan negara ini. Pendapatan mereka edan untuk ukuran PNS. Untuk dapat penghasilan satu juta rupiah saja, seorang dosen harus pergi-pulang naik kereta api ke luar kota yang jauh jaraknya. Tak dapat membayangkan bagaimana seorang pejabat memperoleh pendapatan ratusan juta, bahkan miliaran rupiah, untuk kerja yang sama.
Penyidik KPK, Novel Baswedan, disiram wajahnya dengan air keras oleh orang tak dikenal, usai shalat Subuh di masjid dekat rumahnya.
Kondisi abnormal
Korupsi adalah semacam "hak istimewa" para elite kekuasaan. Korupsi, apa pun bentuknya, adalah way of life kaum elite ini. Justru mereka yang berkuasa dan tak edan korupsi akan dinilai kurang waras dan dimusuhi. Barang siapa tak mau edan akan disingkirkan dari kelompok ini. Dicari segala macam alasan untuk digulingkan dari kekuasaan. Memang sudah zaman edan.
Zaman edan adalah kemerosotan rohani atau spiritual para penguasa. Dalam mitos-mitos kerajaan Jawa, yang mengenal hierarki kekuasaan negara, korupsi edan-edanan kerap terjadi sejak zaman Mataram Kuno. Dan, jika hal ini terus berlanjut, negara di ambang keruntuhannya. Pujangga Keraton Jawa abad ke-19, Ronggowarsito, memberikan kesaksian sebagai berikut: meskipun negara dipimpin oleh orang-orang yang mulia hatinya dan cerdas pemikirannya, mereka tak kuasa menghapus zaman edan.
Dalam zaman edan, yang tak edan tak kebagian kekayaan (negara). Namun, beruntunglah mereka yang eling (ingat Tuhan) dan senantiasa waspada (tahan melawan godaan) karena hanya mereka yang akan selamat. Mereka yang edan tak akan selamat dari pengadilan rakyat apa pun bentuknya, dirinya ataupun keturunannya. Kejahatan yang tersembunyi, bila tiba waktunya maka akan terbuka. Itulah kepercayaan mitos.
Pemerintah pun juga harus berani edan dengan memecat bawahannya yang ketahuan kumat. Pemecatan orang edan adalah normal, jangan dimasalahkan dari segi kondisi zaman normal. Memiskinkan koruptor itu amat normal di zaman edan ini. Jelas dia maling uang negara dan sudah dibuktikan oleh pengadilan.
Mengapa uang negara yang dikorup tak dikembalikan ke pemiliknya? Kalau saya kecurian mobil dan pencurinya sudah tertangkap, masak mobil saya boleh dimiliki pencurinya? Yang edan siapa? Revolusi mental jangan hangat-hangat tahi ayam. Revolusi harus dimulai dari atas, percuma membersihkan kotoran dari bawah. Sebab, ketika yang atas dibersihkan belakangan, di bawah yang sudah lebih dulu bersih, niscaya akan kotor lagi.
Jakob Sumardjo
Budayawan
KOMPAS, 6 April 2017